http://catatan-solitaire.blogspot.com/

Kala Sendiri Menjadi Begitu Berarti
 
 
 
 

OUR STORY



Room Solitaire dianggap lahir tanggal 14 juli 2004, meski kenyataannya sudah ada sejak Februari 2004. Arti solitaire = kesepian = menyendiri, sendirian. Kata ini diilhami dari lagu Solitaire (Carpenter). Kesepian disini dalam arti yang luas dan positip. Kesepian yang bermakna kekurangan kita dalam segala hal, yang pada akhirnya membawa kita pada adanya kenyataan dan kesadaran ada sesuatu yang Maha Sempurna mengatur kehidupan ini, sehingga nantinya akan berpengaruh positip dalam berpikir, merasa, mengucapkan dan bertindak dalam kenyaan kehidupan kita sehari-hari. Juga dapat diartikan agar kita tidak merasa sendirian setelah memasuki room YM. We Are The World, kebersamaan kita tanpa batas geografis, gender, religious, usia, suku bangsa, pendidikan, sosial, ekonomi dan budaya.
MALIOBORO,14juli 2004


YUDHISTIRA147

 

Inspired SONG



There was a man
a lonely man
Who lost his love
through his indifference

A heart that cared
that went unshared
Until it died
within his silence

And solitaire's the only game in town
And every road that takes him takes him down
And by himself it's easy to pretend
he'll never love again

And keeping to himself he plays the game
Without her love it always ends the same
While life goes on around him everywhere
He's playing solitaire



A little hope
goes up in smoke
Just how it goes,
goes without saying
There was a man

A lonely man
Who would command
the hand he's playing

Play Music : Solitaire by Carpenter

 

Image & Link

 
 
 

Tuesday, May 9
[Kisah] Fur Elise
Setiap kali memasuki hutan yang sudah jadi cagar alam milik negara itu, hatiku selalu tergetar oleh kebesarannya. Pohon-pohon yang kokoh dan tinggi berdiri rapat membisu .Bagai barisan raksasa yang berbaris tegak. Hanya daun-daunnya yang berdesah lembut. Diterpa angin pagi yang senyap. Sudah dua ribu tahun mereka tumbuh disana. Sudah sebanyak itu pula berganti daun dan ranting. Menjadi saksi bisu, yang melihat alam dan manusia disekitarnya berubah. Hanya kicau burung yang mengalahkan sepi dan hening disana. Dihutan itu, waktu bagai berhenti mengalir. Tak ada yang bergeser, tak ada yang berganti. Setiap tahun pohon-pohonnya masih selalu sama. Mereka hanya berubah menjadi gundul bila diterjang angin musim dingin. Dan daun-daunnya akan tumbuh menghijau lagi, bila musim semi tiba.

Pada sebuah pagi diawal musim panas. Aku sedang berlari ke arah hutan itu, waktu kudengar denting piano yang merdu dari sebuah rumah kecil yang asri, yang terletak di tepi sebuah jalan kecil yang kulewati. Aku penggemar musik klasik dan instrumen lagu yang yang sangat kukenal itu, Fur Elise, yang dimainkan dengan keahlian jari-jari tangan seorang pianist, membuat langkahku berhenti. Jiwaku dilanda sebuah pesona yang luar biasa. Mendengar simfoni indah yang meliuk naik turun. Begitu lembut dan romantis. Bagai sebuah rintihan sendu yang mengalunkan jerit kerinduan seorang pada kekasihnya yang jauh,....ehmm.

Aku masih berdiri termanggu disaat alunan simfoni itu berhenti. Hatiku di landa sebuah perasaan haru- biru yang tak dapat kegambarkan dengan kata-kata. Dada ini terasa sesak jadinya. Tiba-tiba kulihat pintu rumah kecil itu terbuka, dan seorang lelaki tua muncul dipintu. Berjalan tertatih-tatih dibantu oleh tongkatnya, kearah sebuah kursi yang terletak di beranda. Ia menjatuhkan dirinya keatas kursi dan matanya tajam melihat ke arahku, yang masih berdiri tegak di depan pagar rumahnya. "Datanglah kemari, bila kau memerlukan diriku, jangan berdiri bengong seperti orang kehilangan akal disitu". Kudengar ia berkata dengan nada keras kepadaku. Aku tersenyum dan mengangguk sopan kepadanya. "Aku cuma berhenti untuk mendengarkan permainan pianomu barusan prend, sungguh indah nian, aku senang mendengarnya". Ia mengangguk. Bibirnya tersenyum tipis. "Rupanya kau mengerti juga sedikit tentang musik klasik anak muda, masuklah kemari, temani aku minum kopi sebentar". Aku tertawa. Aku sebenarnya malas untuk memenuhi undangannya. tapi ada sesuatu di wajahnya yang membuatku tak tega untuk menolak. Dengan hati segan aku membuka pintu pagar rumahnya.

Tak lama kemudian kami sudah duduk berhadapan. Angin pagi bersiur lembut. Kudengar nafas lelaki tua itu berdesah cepat, disaat ia menghirup kopinya sambil menatap mataku dalam-dalam. Aku tersenyum padanya. Lelaki itu meletakan cangkir kopinya. "Aku ingin bercerita sesuatu padamu anak muda, dengarkanlah baik-baik, jangan kau membantah atau menyela kisahku ini, karena aku ingin kau mendengar semuanya, sebelum semua kenangan ini kubawa mati tanpa sempat berbagi denganmu". Aku cuma dapat mengangguk dengan hati berat. Aku tak mengenalnya. Ceritanya pasti tentang sebuah lingkaran sebuah masa lalunya disaat ia masih muda dulu. Yang tak ada sangkut pautnya dengan diriku. Tapi apa boleh buat. Aku sudah menerima undangannya. Minum kopinya dan duduk di depannya. Tak ada alasan untuk menghindar lagi.

"Dulu aku adalah seorang tuan besar yang berkuasa sekali di negerimu, semua pribumi berjalan membungkuk bila lewat didepanku". "Karena mereka adalah budak-budak yang bekerja di perkebunan tebu milik ku". "Hidupku seperti seorang raja kecil waktu itu". "Karena istriku tak mau tinggal di negerimu, aku bisa leluasa mengambil berapa orang selir sekaligus". "Semua kuberi rumah yang bagus, dan mereka melahirkan bayi-bayi yang lucu sekali karena darahku mengalir ditubuh mereka". Lelaki itu tertawa bergelak. Dan aku cuma dapat menghela nafas panjang. "Aku dapat berbuat sesuka hatiku disana, karena aku dilindungi oleh tentara yang punya pistol dan senapan, hingga mereka tak berani memberontak padaku". "Sayang semua ini harus berakhir, karena pemerintah di negerimu telah menyita seluruh perkebunanku dan mengusirku dari sana". "Sebuah perbuatan yang tak pernah dapat kumaafkan, karena mereka telah merampas semua yang kumiliki dan kubangun dengan sudah payah". "Kalau saja mereka membiarkan kami terus berkuasa disana, tentu negerimu tak akan hancur dan miskin seperti sekarang ini".

Tanpa kuminta lagi dia terus melanjutkan ocehannya. "Kulihat di tubuhmu mengalir juga sebagian darah kami, dan kalian yang datang berbondong-bondong datang kemari, mencari penghidupan yang lebih baik di tanah leluhurmu ini, membuat negaraku yang dulu besar dan makmur, sekarang menjadi lemah dan tak seindah dulu lagi". "Kalian kaum pendatang, seperti rombongan belalang yang rakus memakan dan menjarah apa saja yang kalian temukan". "Aku merasa lega, karena hidupku tak lama lagi, jadi tak usah aku menangis melihat kehancuran negeri ini , yang sebentar lagi berada ditangan kalian, karena darah aria kami yang asli akan semakin menipis juga, bercampur dengan darah kalian yang semakin kuat melebar di tanah ini".

Aku tersenyum. Kulihat lelaki tua itu tak berminat lagi melanjutkan ceritanya. Kami berpandangan lama sekali. Matanya yang sebiru lautan menatap tajam ke wajahku. Rambutnya yang seputih kapas bergoyang perlahan dihembus angin pagi. Aku berdiri. Kuulurkan tanganku kepadanya. "Terimakasih untuk ceritamu yang menarik itu prend, dan juga buat permainan pianomu yang indah itu, adios prend sampai berjumpa kembali".
Tanpa menoleh lagi aku berjalan keluar.

Tiba-tiba aku mendengar lelaki itu berteriak kearahku. "Mengapa kau menyukai simfoni itu anak muda". Aku menoleh kebelakang. "Karena nenekku bernama Elise prend", jawabku sambil tertawa. "Nenek dari pihak mamaku..bukan papaku". kataku perlahan. Dan aku terus berlari kearah hutan di depanku. "Pantas matamu berwarna biru, walaupun rambutmu sehitam jelaga". Kudengar lelaki itu menjerit dibelakangku.

Sujiwo, media mei 2006.
posted by imelda @ 8:00 AM  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 

♪yang maintain Catatan Solitaire♪

emiko



Temans ............

Catatan solitaire ini terinspirasi oleh banyaknya cerpen, puisi, maupun artikel yang ditulis oleh warga solitaire. Tulisan-tulisan Mas Jiwo yang merupakan kontemplasi dari pengalaman hidupnya, sarat dengan makna. Dengan bahasa yang sederhana tapi sangat enak dinikmati, Mas Jiwo banyak mengambil tema teman kehidupan sosial. Mas Jiwo adalah contoh penulis solitaire yang sangat peduli akan nasib orang kecil. Penghargaan Mas Jiwo kepada kawulo alit ini merupakan cerminan sikapnya yang tidak pernah membedakan latar belakang sesama manusia.

Puisi-puisi Bang BSD yang selalu mendendangkan nyanyian cinta dan kerinduan telah memberikan warna tersendiri bagi kita betapa hidup ini penuh dengan cinta, kerinduan, perjuangan, tapi juga kadang ada kenyataan pahit harus kita hadapi. Jatuh dan bangun mungkin sudah menjadi hukum alam yang mesti kita jalani dengan penuh lapang dada.

Neisya sendiri suka menuangkan gagasan dan pengalaman dalam sebuah esei atau artikel. Ketertarikan Neisya terutama pada Cyber World yang ternyata telah menjadi ilmu yang sangat luas sekali. Dunia Maya, kini sudah menjadi bagian hidup dari jutaan orang, dari yang sekedar ingin chatting, belajar lewat web, sampai pada orang orang yang punya pikiran jahat untuk mengambil hak orang lain, yang sering kita sebut hackers. Semuanya memberikan inspirasi bagi saya untuk terus menulis dan berbagi kepada yang lain.

Solitaire adalah Rumah yang Indah bagi banyak orang Indonesia. Anggotanya saat ini sudah hampir 200 orang, yang berdomisili di banyak negara, misalnya Belanda, Kanada, Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Jepang, Hongkong, dan tentunya juga Indonesia. Mas Yudhis (Lurah Solitaire-red) menyebut Solitaire Kebersamaan Tanpa Batas, dan Mas Yudhis benar karena Solitaire adalah tempat berbagi kerinduan akan kampung halaman, tempat berbagi duka dan cinta, tempat yang indah untuk menjalin persaudaraan dan kebersamaan tanpa batas.

Selamat Datang di Catatan-Solitaire, selamat bergabung dengan kebersamaan tiada batas dan terimakasih banyak buat Mas Yudhis, Bang BSD, dan Mas Jiwo yang sudah memberikan supportnya, juga semua anggota yang tidak dapat disebutkan satu-per-satu. With love n gratitude,
**Eisya - Emiko**


 

Last Entries

 

Archieves

 

Messages

 

Template & Credite

Visit Me Klik It

15n41n1